Jumat, 18 Juli 2014

Pendeta Martin Nainggolan



Masa kanak - kanak :
    Martin Nainggolan lahir pada tanggal 10 November 1868 di Sigompulon, Pahae. ia adalah generasi kedua dalam kekristenan. orangtuanya adalah raja Daniel, generasi kristen yang pertama. Ia adalah orang Kristen pertama di antara penduduk Pahae, yang dibaptiskan oleh Pendeta heine. Ibunya juga masuk Kristen ketika ia pemudi di Hutapea silindung. Namanya ialah Lina boru Hutapea. Pendeta Heine orang yang membaptiskan Martin ketika kanak - kanak.
    Pada waktu ia berumur 7 tahun, yaitu pada tahun 1875, orang tuanya pindah ke Pangaloan, yaitu ke desa Liang Singa. Pendeta Staudte yang memberikan nama tersebut berdasarkan nama dan tempat nabi Daniel. Dahulu tempat di sekitar itu banyak kita jumpai persembahan ke ilah - ilah, yang di takuti orang - orang di daerah itu. Sejak umur 8 tahun martin sudah bersekolah di Godung Pea di pinggir sungai. Martin sangat rajin bersekolah, bukan saja karena nasehat orangtuanya, tetapi juga karena dekatnya pergaulan orang tuanya dengan pendeta jemaat Pangaloan. Lagi pula bapaknya adalah seorang penatua dan raja. Para guru sekolah sangat sayang mendidik Martin. Mereka rajin mengunjungi Martin dan keluarganya ke rumah. Guru - gurunya adalah guru Markus Siregar dari Angkola Hutabarat dari Pansus Napitu, Kristian L. Tobing dari said ni Huta, wilheim Hutagalung dari hutagalung murid - murid sekolah dasar pada waktu itu sebanyak 20 - 30 orang, dan jumlah keluarga sebanyak 30 keluarga. Pekerjaan di rumah atau di desanya juga disenangi oleh Martin. kadang - kadang ia juga menemani bapaknya untuk berdagang di pasar. Martin melihat dan memahami bapaknya penuh berdaulat.

Ke sekolah Seminarium :
            Bapak Martin mengingini sejak semula supaya ia menjadi guru yang dapat melayani jemaat. Orangtuanya selalu berdoa memohon kepada Allah supaya Martin dihinggapi roh tuhan dalam panggilan tersebut. Pendeta jemaat juga mengharapkan hal tersebut. Sejak umur 16 tahun jian masuk ke Seminarium Pansur Napitu membuka sesuatu kesempatan baru bagi panggilan martin, Pendeta V. kessel adalah yang memberangkatkan Martin pergi ke Seminarium tersebut. Dari antara 80 orang peserta ujian, hanya 30 orang, termasuk martin , yang lulus. Dua orang yang lulus dari  Panggaloan yaitu Matin dan Timoteus Hutapea, seorang anak evangelis Hutapea yang kenamaan itu.

            Tanggal 25 Januari 1885 adalah hari bersejarah untuk Martin dan sahabat – sahabatnya. Keadaan seminarium pada waktu sangat terbatas perlengkapannya. Tempatnya, alat – alat pendidikan dan sarananya sangat sederhana sekali. Gedung gereja adalah  tempat persekolahan dari hari senin sampai sabtu, sedang hari minggu sebagai tempat peribadatan. Bangku tempat duduk digunakan dalam sekolah itu sebagai mejanya, sedang potongan – potongan balok tiang dibuat sebagai tempat duduk dibawah bangku tersebut. Ruangan untuk belajar atau menghafal hanya dalam gereja. Yang mencari kayu bakar dan tukang masak tidak lain adalah semua pelajar, belanja mereka masing – masing dari orang tua atau keluarganya. Mereka telah mandiri dalam pembiayaan seminarium tersebut. Martin melakukan semua tugas dengan penuh semangat dan kegembiraan. Ketika Martin mengikuti sekolah guru, tiba – tiba ibu yang disayangi itu meninggal dunia, pada waktu melahirkan anak. Hatinya penuh dengan kerisauan, mendung pemansangannya. Ia mengingat pada waktu itu tanggal 31 Januari 1885. Keinginan meneruskan sekolah terancam. Namun akhirnya berkat ketabhan bapaknya, untuk mencari nafkah merekadan membiayai sekolahnya walaupun dengan mengaami penderitaan pahit, akhirnya Martin pun memahami masalah bapaknya hanya dengan menerima kenyataan itu sendiri.

            Pada akhir tahun 1885, bapaknya menikah dengan Ulina Boru Tompul putrid Rajaihutan Hiskia, dari sigurung – gurung, Pangaloan. Keungan atau perbelanjaan bagi sekolah Martin menjadi terjamin. Tambahan lagi karena kakak Martin juga menikah, sehingga keluarga itu dapat menunjang kemajuan sekolahnya. Guru dari sekolah guru pada waktu itu adalah pendeta P.H. Jo Hansen yang menjabat sebagai guru kepala, pendeta J.H. Meerwald sebagai wakilnya, dan guru lainnya ialah guru manase L. Tobing. Karena kemajuan dan pengembangan anak sekolah makin meningkat, maka sekolah diperbarui. Para pelajar bergotong royong ke hutan, mencari kayu – kayu besar, lalu melicinkannya sehingga menjadi bolak – balik yang lurus, licin dan kuat.
            Pada awal tahun 1887 sekolah yang baru siap untuk dihuni, ruangan untuk menghafal tersendiri, untuk belajar pun tersendiri. Martin belajar diseminarium selama 3 ¾ tahun. Jangka waktu yang pendek ini dibuat adalah karena jemaat – jemaat kekurangan guru.
Tanggal 22 Agustus 1888 ujian akhir silakukan sesuai dengan usul ephorus dan para pendeta. Sebanyak 11 orang lulus. Hasil ujian martin cukup baik. Setelah mereka ditabalkan sebagai guru, martin pun pulang ke desa. Pendeta ditempat tinggalnya yang akan memberikan tugasnya. Pengganti pendeta v. kessel ialah pendeta P. Bonn, yang memberi tugas praktek kepada martin, yaitu menjadi guru di pangaloan, mengganti guru Wilhelm hutagalung yang pindah ke Lumban Garoga.





Pengalaman melayani guru
            Guru martin banyak dipengaruhi oleh panutan pendeta Bonn, yang suka mengadakan perkunjungan rumah ke jemaat – jemaat atau pedesaan. Akibatnya besar, makin banyak yang dating mengunjungi kebaktian minggu dari penganut agama suku, demikian juga banyak yang mengikuti pelajaran kateksiasi yang menyatakan dirinya bertobat. Anak – anak sekolah pun makin bertambah setiap tahun. Namun kegiatan ini, pembaptisan tidak membludak jumlahnya. Lambat – lambat diizinkan atau diamati oleh pendeta untuk menjadi penganut kristus itu. Dari kenyataan hidup perubahan seseorang baru merekan dibaptiskan.
Pendeta Bonn sangat teliti menyaring keanggotaan dan pemuridan kristus itu. Ia juga ikut mengajar dan membina mereka, baik di jemaat induk maupun di jemaat pinggiran. Bagi beberapa orang sampai 3 tahun lamanya mengikuti pengajaran tersebut baru di baptis.memang banyak manfaatnya untuk pribadi, keluarga dan jemaat itu sendiri kemudian hari. Guru martin menanam metode bukan dari kebiasaan menulis alfabeta a, b,c,d, dst, tetapi mengajarkan huruf – huruf tersebut dari suara yang dibunyikan oleh murid – murid itu sendiri.
            Pada tahun 1890, pusat tempat gereja dipindahkan termasuk sekolah. Perkampungan itu di sebut “pargodungan”, yang tadinya di Lomban Toruan, di bawah kaki gunung Pangaloan yang curam dipindahkan ke Tanah Mias, kira – kira di pertengahan pedesaan – pedesaan di daerah dan pinggir jalan raya. Pendeta kleinstra menggantikan pendeta bonn yang pulang ke Eropa. Pada anggal 11 Januari 1895 seorang wanita lahir setelah guru martin menikah dengan louise br. Morangkir dari silangkitang pangaloan pada tahun 1893. Enam tahun lamanya ia menjadi guru di pangaloan, di jemaat induk. Lalu dipindahkan ke jemaat pinggiran, yaitu pada tanggal 7 Oktober 1895. Sangat sulit pada mulanya melayani jemaat pinggiran, karena hanya 2 keluarga Kristen saja yang ditemuk tempat persekolahan yang dilakukan di sopo lumbung padai yang dapat dimanfaatkan untuk pertemuan – pertemuan. Sopo tersebut milik raja di simaninggir dolok. Di sekitar 12 anak – anak sekolah meningkat menjadi 30 orang, dan 70 keluarga menjadi anggota jemaat. Dalam menghadapi tantangan pelayanan yang berat itu guru martin mengalami penderitaan batin karena kematian putrinya tadi, margareta, yaitu pada tanggal 3 Juni 1897. Dengan lahirnya putri kedua pada tangal 28 Juli 1897, yang dianamakan apul pintaomas maka penghiburan dirasakan dengan khusus. Jemaat induk pangaloan makin besar jumlah anggotanya.
            Pendeta kleinstra memindahkan guru martin ke jemaat induk tersebut, yaitu pada tanggal 11 desember 1899. Guru kenan sihombing juga dipanggil untuk bertugas di sana. Mereka berdua membantu perkembangan jemaat induk tersebut. Setelah satu minggu di pangaloan bertugas, lahir seorang putra bernama sinta polin, yaitu pada tanggal 18 Desember 1899. Waktu pendeta G.K Simon, yang menggantikan pendeta irle memindahkan guru martin dari pangaloan ke janji angkola yaitu pada tanggal 3 Januari 1901, keadaan pelayanan amat berbeda. Pendeta kilian lumbantoruan pada saat itu dipindahkan dari janji angkola. Untuk melayani jemaat itu tidak cukup seorang guru. Guru ria simatupang adalah juga ikut melayaninya. Orang – orang di daerah janji angkola nampaknya keras terhadap kehidupan baru itu. Mereka agak congkak, karena harta kekayaannya, ternaknya banyak seperti kerbau, lembu, demikian juga sawahnya menghasilkan banyak padi dan tanam – tanaman lainnya. Tidak seberapa orang yang mau menerima hidup baru atau pertobatan. Belajar disekolah, pikir mereka, hanya menghabis – habiskan waktu, tenaga dan pembiayaan.

Sekolah pendeta

            hanya satu tahun melayani jemaat di janji angkola guru martin dapat kesempatan bersama tuan simon dan timoteus hutapea meneruskan sekolanya ke sekolah pendeta, yaitu tanggal 3 maret 1902, mereka semua berjumlah 9 orang. Temannya adalah asser l. tobing, andreas sitompul, timoteus hutapea, martin siregar, martin suti, jonas siregar, friderick l, tobing dan Daniel pardede. Semua istri mereka masih tinggal, kira – kira stengah tahun lagi, di masig – masing desanya, karena asrama di sipoholon masih belum selesai. Selama 2 tahun mereka dipersiapkan untuk pelayanan pengembalaan di bawah asuhan pendeta J. Warneck dan pdt. Harder. Jauh sebelum tamat, yaitu pada akhir tahun 1903 telah dipilih 4 orang untuk melakukan pengamatan penginjilan ke simalungun, yaitu andrea sitompul, martin siregar, martin suti dan martin nainggolan.
            Tadinya pendeta simon bekerja dan menggembalai resort pangaloan, dan pada tahun 1903 ia pindah ke daerah simalungun. Tanggal 28 Desember mereka berempat diberangkatkan ke daerah simalungun dalam rangka praktikum. Mereka lebih dahulu diutus ke sigumpar untuk menerima nasehat.dan pendekatan penginjilan dari ompui ephorus nommensen. Lama menunggu  sampan perahu yang tak kunjung tiba, maka ompul menyuruhnya supaya pergi ke janji matogu, daerah pelayanan pendeta reitse. Jam 3 pagi mereka pun diberangkatkan pendeta reitse. Lalu mereka menuju lontung.Disini mereka terkejut melihat sikap orang – orang kaya yang memberlakukan dengan keras dan penindasan hamba sahaya.“ aduh malangnya hidup hamba sahaya ini,” pikir mereka. Setelah mengarungi danau yang penuh ombak itu yang dikenal dengan nama danau toba, maka pada tanggal 1 januari 1904 perahu yang mereka tumpangi itu pun sampai di tiga ras, yaitu tempat pendeta simon. Setelah dua hari istrirahat dan mengenali daerah simalungun dari pendeta tersebut, maka mulailah mereka melawat daerah – daerah seperti raya, pane, pematang siantar, Bandar dan terus ke batubara, tempat pemerintah belanda mengawasi rakyat di daerah simalungan (kontroleur). Jalan yang mereka tempuh adalah rumpu – rumput ilalang yang panjang, yang harus disisihkan ke kiri ke kanan. Kayu – kayu kecil dan besar ditengah – tengah hutan yang lebat itu harus ditembus. Sawah masih belum ada mereka jumpai, hanya ladang belaka dibeberapa tempat diantara hutan – hutan besar itu. Demikian juga perkampungan sangat jarang dijumpai, setidak – tidaknya sepanjang jarak satu jam. Pengalaman mereka cukup berkesan, bukan saja karena hutan belukar yang mereka lalui, tetapi juga reaksi atau penolakan akan berita kesukaan. Misalnya raja pane, raja siantar tidak mau menerima injil.
            Lain halnya tuan Bandar yang mau menerima pekabar injil atau pendeta yang mengijinkannya untuk dapat tinggal di tengah – tengah mereka. Motifnya kemungkinan adala apabila bersama orang kulit putih dan pelayan tuhan, dia juga dipandang penuh kemuliaan.
            Pemerintah Belanda yang diwakili oleh Kontroleur cox di batu bara memahami kehadiran pendeta di daerah simalungan bukan saja sekedar orang pendatang, tetapi sangat dibutuhkan untuk membangun kehidupan baru di daerah itu. Ia mengirim surat izin kepada raja – raja di simalungun untuk menerima atau memohon para pendeta dapat diterima di daerah iini. Lalu mereka pulang kembali dari batu bara, menuju ke raya maligas, tano jawa melalui P. Siantar, sidamanik tembus ke tiga ras. Cukup luas hutan lebat yang mereka jalani. Binatang buas, kesunyian di dalam hutan dan alam yang cukup memberi kesan yang dalam.
            Tidak semua tempat perkampungan yang mau menerima mereka. Perjalanan kedua kalinya dilakukan kembali setelah pendeta simon bertekad untuk memulai menabur injil di daerah simalungun itu, setelah seminggu tiba di tiga ras, maka pdt, simon mengutus ke empat calon pendeta, pekabar injil yang berani itu ke tuan Bandar. Pesan yang mereka sampaikan termasuk untuk membangun sebuah rumah untuk pendeta. Setelah semua rampung, maka mereka pun kembali ke tiga ras. Dari sana pulang kembali dengan perahu baligi, dan sampai ke sipoholon pada tanggal 25 Februari 1904. Setelah mengikuti ujian akhir pada tanggal 22 maret di sipohon, maka GR. Jonas Siregar dan GR. Martin Nainggolan dipilih untuk menjadi pendeta atau penginjil di daerah simalungun.

Penginjilan dan pengembalaan
            Tanggal 14 April 1904 Pdt. Martin nainggolan berangkat sendirian ke simalungun, sedang keluarga, istri dan anak – anaknya yang masih kecil, tinggal di desanya. Tugasnya ialah sebagai penginjil berkeliling, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Setelah sampai di tiga ras, maka bersama pdt. Simon berangkat ke Bandar menempati tempat pelayanan baru, karena rumah yang dibangun sudah selasai.
            Pdt. Martin dengan penuh iman dan kepatuhannya kepada juru selamat, memulai pelayanannya. Memberitakan injil kemenangan ke desa –desa dan keladang – ladang, dimana mereka bekerja dengan penuh keberanian iman dan hormat, pdt. Nainggolan mendekati raja – raja di Maranggir, pane , siantar, tano jawa dan lain – lain. Terkadang pendeta nainggolan bersama pdt. Simon secara sendirian menemui raja dan bercakap – cakap menyangkut kehidupan baru, pertobatan, pengampuanan dosa atau berita kesukaan yang telah dilaksanakan oleh juruselamat dunia. Penganut agama suku yang pada umumnya mereka dekati disamping agama lain. Ada mulanya sangat sulit mencari pendekatan dan kunci untuk mengetuk hati penduduk yang ada di daerah simalungun yang tenang. Menolak pun tidak, menerimapun belum pasti. Untuk berbincang – bincang sebentarpun mereka nampaknya lekas bosan. Banyak dari mereka yang mengisap candu. Setelah melakukan pekerjaan penginjilan selama 5 bulan di daerah tersebut, maka pdt. Nainggoalan makin terlatih dan bersemangat. Tantangan dipandangnya sebagai suatu jembatan kekuatan rohani.
Hutan raya, rumput lalang yang luas, kayu pohonan yang besar – besar cukup memberi tantangan bagi pdt. Nainggolan. Orang yang mudah lupa, akan sesat di tengah hutan raya itu, apabila ia tidak cepat mengingat tanda – tanda alam, simpang – simpang perjalanan dan kayu – kayu yang bercorak ragam itu. Setelah pulang selama 1 bulan ke pangaloan melihat keluarga, lalu ia kembali ke daerah simalungan.
            Kegembiraan pdt. Nainggolan dalam keluarga juga bertambah, karena setelah satu minggu tinggal di kampong halamannya di Pangaloan, lahir seorang putrinya, sampai putrinya itu dibaptiskan ia tinggal di tengah keluarga besar, membagi pengalaman dari kegembiraannya di kampung halamannya. Waktu kegembiraan bersama keluargapun berlalu. Seketika tiba di pematang Bandar, pdt. Simon mengatakan sesuatu pada pdt, nainggolan :” sudah ada seorang anak raja dahulu yang dari tano jawa, sampai ke dolok panribuan. Permohonannya itu sepengetahuan kontroleur cok, karena di sana ia mau bersekolah berdasarkan desakan kontroleur. Kemudian pdt. Nainggolan pergi ke batu bara menjumpai di sang borain dan kontroleur tersebut. Memang suatu kenyataan ! si sang borain sangat bergembira terhadapat kedatangan pdt. Nainggolan. Kontroleur tersebut memberangkatkan sang borain dengan senang hati bersama pdt. Nainggolan ke kampung halamannya, yaitu hataran jawa di tano jawa, perjalanan kaki sebanyak 3 hari jarak hataran jawa dari batu baru, dan 2 hari dari hataran jawa ke pematang Bandar.
Siapakah sang Borain?
Ia adalah anak raja Tano Jawa yang lampau. Kerajaan orangtuanya pindah kepada pamannya, adik bapaknya, karena kalah. Setelah raja tersebut meninggal, anaknya menggantikan kekuasaan raja itu, yaitu bernama jintar dialah yang dipandang sebagai raja tano jawa. Tetapi di sang Borain masih kanak- kanak, nampaknya bodoh, namun kedaulatan masih bersinar dari dirinya bagi kebanyakan orang, karena ia keturunan raja.

Di hataran jawa
Pada bulan januari 1905 Pdt. Nainggolan ditetapkan oleh Pdt. Simon untuk bertugas di Hataran jawa. Hal ini suatu peristiwa yang penuh arti. Rumah gubuk – gubuk yang dibangun sang Borain untuk Pdt. Nainggolan adalah dekat berhadap – hadapan dengan perkampungan yang berpenduduk 25 keluarga. Pada tanggal 23 April keluarga Pdt. Nainggolan tiba di Hataran Jawa setelah dijemput oleh Pdt. Tersebut. Melihat rumah yang berlantaikan tanah, atap lalang, dan dinding tepas bamboo di tengah – tengah hutan lebat, istri dan anak pendeta dapat menyesuaikan diri demi untuk berkembangnya kerajaan allah, yang hampir dapat disebut pada waktu itu S.K.A. ia sudah mempunyai keluarga pada saat itu. Untuk menggalakan pemuridan jesus kristus, juru selamat desa tersebut, ia memanggil anak – anak dari desa itu yang kebetulan ada 10 orang. Mereka jadi berjumlah 11 orang didik oleh pendeta Nainggolan setiap hari kecuali hari minggu. Merekalah di kemudian hari yang menjadi orang Kristen pertama di daerah itu. Kegiatan gelombang berikutnya yang dilakukan Pdt. Nainggolan bersama sang borain, sama seperti kesetiakawanan dan hubungan bapak dengan anak dari rasul Paulus dengan timoteus, membawa injil ke desa – desa di Tanah Jawa, sampai ke Dolok panribuan ke bagian arah selatan. Tanpa kesulitan komunikasi Pdt. Nainggoalan mengenal raja – raja di seluruh Tano Jawa dan sekitarnya, karena sang borain adalah anak raja yang masih diakui kedaulatannya walaupun bukan ia yang menjadi pewaris kerjaan dalam pemerintahan adat. Ia adalah anak raja, tetapi lebih tinggi dari kedudukan itu ia memilih menjadi anak Allah dalam kerajaaNya. Allah bekerja memilih hambaNya melalui apa yang dikatakan oleh Petrus 2,7 : “ Batu yang telah dibuang oleh tukang – tukang bangunan, telah menjadi batu penjuru, juga telah menjadi batu sentuhan dan suatu batu sandungan.”Karena melihat isi dan tujuan penginjilan, maka banyak yang mau menerima guru sekolah untuk desa – desa di daerah simalungun. Raja – raja tersebut telah mulai melihat dan memahami arti kemajuan dan pengembangan ilmu bagi kehidupan sehari – hari di desa – desa. Pdt. Simon menyetujui keinginan raja – raja desa untuk kehadiran pendidikan dan pembinaan warga masyarakat raja – raja yang berkeinginan menerima guru – guru misalnya : pematang tanah jawa, sitoma jawa, soria, hutabayu raja, raya maligas, tomuan dolok, pematang dolok, jorianghataran dan lain – lain. Tempat – tempat ini berulang kali dikunjungi pendeta nainggolan untuk membina dan meningkatakan pengetahuan umum dan memperdalam iman para murid sekolah. Pengawasan dan pengarahan bagi guru – guru sekolah juga memakan waktu dan perhatian khusus. Kesulitan yang dihadapi Pdt. Nainggolan dan para guru cukup dalam menyangkut pengajaran firman allah atau pemuridan iman. Sama halnya seperti menggigit karet atau kulit kering, ditarik ia mengikut, di lepas ia kembalike asalnya. Begitu letihnya guru – guru tersebut mendidik anak – anak atau orang dewasa untuk menerima firman allah serta menghayati kasih keselamatan kristus, tetapi selama 5 tahun pernah tidak seorangpun yang bersedia dengan sukarela menjadi murid tuhan jesus kristus, khusus di hataran jawa.
            Lain halnya di dolok panribuan. Di sana sudah ada dari masyarakat yang menjadi pengikut jesus kristus. Tambahan lagi pendatang – pendatang baru dari daerah toba, tapanuli utara, ke daerah sekitar tiga dolok dan dolok marlawan.

Sakit Typus
            Selama tiga bulan pendeta nainggolan diserang oleh penyakit typus. Waktu tersebut adalah sebagai pencobaan yang keras. Pikirannya pada saat itu mendung, tidak menentu karena panas yang cukup tinggi membuat ia terus – menerus berbicara, tidak menentu, mulutnya komat – kamit dengan suara penderitaan. Jiwanya penuh kensunyian, tidak ada orang yang dapat datang meneguhkan jiwanya. Ia mengharapkan penghiburan dari sahabat atau teman sekerja di samping keluarga. Tetapi pengharapan itu sia – sia. “ alangkah malangnya saya,” pikir pendeta nainggolan, tetapi jalan allah untuk hambanya terus berjalan. Tidak dapat dipahami, bahwa sesewaktu orang – orang simalungun juga datang menghiburnya, walaupun nasehat – nasehatnya tidak sesuai dengan maksud hati pendeta. Keluarga dan kenalan pdt. Nainggolan pun ikut bergunul dalam doa supaya ia segera disembuhkan allah. Setelah pendeta simon di bandar mengetahui hal penyakit pdt. Nainggolan, maka ia menyuruh orang lain mengirim obat typhus. Ia teguhkan lebih banyak bukan karena obat yang dikirmkannya saja, tetapi karena isi secarik surat dari pdt. Simon yang menghibur, meneguhkan jiwa, yang penuh kesunyian. Hatinya makin gembira. Isi surat itu dirasakannya seprti suara yang datang dari surga. Sejak itu penyakitnya berangsur – angsur sembuh. Pdt. Ed muller menggantikan pdt. Simon yang sakit dan berobat ke Eropa, pdt. Muller sempat tinggal di bandar, lalu pindah ke pematang siantar.

            Perpindahan pusat pelayanan kerajaan allah dari Bandar ke p. siantar sesuai dengan nasehat pdt. Simon. Hal itu terjadi pada tahun 1907. Pada masa itu perpindahan penduduk dari daerah toba, tapanuli utara, bergelombang – gelombang, datang membuka persawahan ke arah daerah p. siantar dan pane, menyusul lagi ke arah dolok marlawan dan balata. Perpindahan raksasa itu sangat mengagumkan, karena nampaknya seperti perpindahan bangsa – bansa yang dapat mengubah jalannya sejarah. Hanya perpindahan ke tanah jawa tidak diizinkan oleh pemerintah, yaitu kontroleur yang lama memerintah dan mengawasi rakyat di daerah itu. Pada tahun 1907 kedudukan kontroleur sudah dimulai di tano jawa.

Penginjilan ke dolok panribuan
            Perpindahan raksasa ke dolok panribuan itu mempunyai dampak kepada gereja. Pdt. Muller memindahkan pdt. Nainggolan dari hataran jawa ke dolok maraja, tiga dolok, yaitu tanggal 25 Februari 1910. Dari tempat ini pdt. Nainggolan beroperasi dalam pelayanannya ke tano jawa. Jemaat – jemaat makin bertambah seperti di siatasan – balata, dan manik hataran. Makin membludak jumlah keanggotaan jemaat karena pendatang – pendatang baru dari tapanuli utara, yang telah lama menjadi pengikut kristus. Selama tinggal di dolok maraja, kegembiraanpun mengisi keluarga pdt. Tersebut, karena pada bulan agustus 1910 lahir putrinya, anak yang keempat.
           
Pelayanan di pematang siantar
                                    Pada tanggal 23 Oktober 1917 pdt. Nainggolan dipindahkan oleh pdt. Muller dari dolok maraja ke P. siantar. Hal ini karena dua unsur. Yang pertama karena banyaknya pendatang baru menerobos masuk ke jantung hati daerah simalungun baru, yaitu P. siantar. Yang kedua karena pdt. Karl hutabarat teman sekerja pdt. Muller berhenti dari pekerjaannya, sehingga tidak mungkin hanya seorang pendeta melayani jemaat di p. siantar. Pelayanan raksasa harus dilakukan dengan gerak cepat, tepat dan cermat, bukan saja di jantung hati daerah simalungun, tetapi juga di sekitarnya yaitu sekitar siantar, tano jawa, dolok pangaribuan dan pane.
Pada tahun 1917 adalah suatu peristiwa besar untuk daerah Tano jawa. Selama ini pemerintah tidak mengizinkan daerah ini dimasuki oleh suku – suku bangsa batak yang datang dari Tapanuli utara. Barulah
pada tahun tersebut diizinkan pendatang – pendatang baru membuka perawahan baru. Sejak itu suku – suku batak berbondong – bondong datang mencari nafkahnya dari daerah toba humbang, silindung, dan angkola. Tiada henti – hentinya mereka datang.

Pelayanan di Tano Jawa.
            Dengan membludaknya pendatang – pendatang baru yang membuka sawah – sawah di Tano jawa dan sekitarnya, maka pendeta muller memindahkan pdt. Nainggolan pada tanggal 29 Desember 1919 ke Tano jawa. Pelayanan di daerah ini agak semrawut. Penginjilan awal bagi penduduk semula terus dilakukan, sedang tindak lanjut penginjilan bagi pendatang baru harus ditingkatkan. Kekristenan yang dihayati penduduk di tapanuli masih baru. Kehidupan pemuridan jesus kristus masih menuntut perilaku dan cara baru. Hidup dalam injil harus berlaku bagi manusia seutuhnya. Ia harus memcakup kehidupan sehari – hari. Ia harus menggarami kehidupan bangsa allah di tanah perantauan, menjadi teladan seperti Abraham dan keluarganya di sepanjang pertemuannya dengan suku bangsa lain.
            Ketekunan iman kepada tuhan dari bangsa – bangsa atau suku bangsa – bangsa harus dicerminkan bukan saja dari percakapan – percakapan tetapi juga dari perbuatan – perbuatan yang nyata, yang berguna untuk keluarga dan masyarakat sekelilingnya. Untuk menyatukan pendapat, mengarahkan pandangan dan menggalang kekuatan baru dari pendatang – pendatang dengan penghuni sejati tidak mudah. Pemikiran dan tindakan masih berkotak – kotak  sesuci dengan perbedaan suku – sukunya di Tapanuli. Kesempatan membuka sawah yang dilakukan pemerintah bukan saja sebagai anugerah bagi musafir baru, tetapi juga menjadi tantangan berat. Tidak mungkin dilaksanakan pengembalaan hanya oleh seorang pendeta. Pada tahun 1923 pdt. R. Schneider ditempatkan bersama – sama pdt. Nainggolan di tano jawa.
            Kedatangan pendeta baru itu bukan saja mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan penginjilan dan pengembalaan di tano jawa, tetapi berguna juga untuk pendeta nainggolan, karena kekuatannya makin lama makin berkurang karena dimakan usia dan tugas – tugas raksasa di daerah simalungun berpuluh tahun. Pindah ke sini dan kesana, laksana Abraham yang tekun imannya dan patuh melakukan tugasnya tanda kesetiaannya untuk kemuliaan Raja Gereja di sepanjang kehidupan. Pada tahun 1925 sekolah pendeta sipoholon menamatkan 10 orang yang menjadi perintis – perintis baru. Ompu I Ephorus J. Warneck memahami perkembangan baru di daerah simalungun selagi kejadian baru. Tenaga pendeta muda harus segera menggantikan pelayanan – pelayanan di daerah pekaburan injil yang baru.
            Pdt. Nainggolan yang berusia 57 tahun, yang telah melayani kerajaan Allah selama 37 tahun menerima kehormatan untuk pension. Pada tanggal 31 Maret 1925 adalah hari terakhir dari pelayanannyasejak dipanggil tuhan 1 oktober 1888 sampai dengan tanggal 1 April 1925. Maka sejak tanggal tersebut ia resmi pensiun dari segala tugasnya.


    





                                                     
                                                                      Op,raja daniel



                                                                          Op.martin



                                                             op.L br simorangkir
                        




                                                                  op.Arif.nainggolan      

            
      

                                     
                                                                      op.P.br sihombing
   

                                                               
       
                                           
           
                                                                    H.nainggolan/T.br sibuea