Masa kanak - kanak :
Martin Nainggolan lahir pada
tanggal 10 November 1868 di Sigompulon, Pahae. ia adalah generasi kedua dalam
kekristenan. orangtuanya adalah raja Daniel, generasi kristen yang pertama. Ia
adalah orang Kristen pertama di antara penduduk Pahae, yang dibaptiskan oleh
Pendeta heine. Ibunya juga masuk Kristen ketika ia pemudi di Hutapea silindung.
Namanya ialah Lina boru Hutapea. Pendeta Heine orang yang membaptiskan Martin
ketika kanak - kanak.
Pada waktu ia berumur 7 tahun,
yaitu pada tahun 1875, orang tuanya pindah ke Pangaloan, yaitu ke desa Liang
Singa. Pendeta Staudte yang memberikan nama tersebut berdasarkan nama dan
tempat nabi Daniel. Dahulu tempat di sekitar itu banyak kita jumpai persembahan
ke ilah - ilah, yang di takuti orang - orang di daerah itu. Sejak umur 8 tahun
martin sudah bersekolah di Godung Pea di pinggir sungai. Martin sangat rajin
bersekolah, bukan saja karena nasehat orangtuanya, tetapi juga karena dekatnya
pergaulan orang tuanya dengan pendeta jemaat Pangaloan. Lagi pula bapaknya
adalah seorang penatua dan raja. Para guru sekolah sangat sayang mendidik
Martin. Mereka rajin mengunjungi Martin dan keluarganya ke rumah. Guru -
gurunya adalah guru Markus Siregar dari Angkola Hutabarat dari Pansus Napitu,
Kristian L. Tobing dari said ni Huta, wilheim Hutagalung dari hutagalung murid
- murid sekolah dasar pada waktu itu sebanyak 20 - 30 orang, dan jumlah
keluarga sebanyak 30 keluarga. Pekerjaan di rumah atau di desanya juga
disenangi oleh Martin. kadang - kadang ia juga menemani bapaknya untuk berdagang
di pasar. Martin melihat dan memahami bapaknya penuh berdaulat.
Ke sekolah Seminarium :
Bapak Martin mengingini sejak semula
supaya ia menjadi guru yang dapat melayani jemaat. Orangtuanya selalu berdoa
memohon kepada Allah supaya Martin dihinggapi roh tuhan dalam panggilan
tersebut. Pendeta jemaat juga mengharapkan hal tersebut. Sejak umur 16 tahun
jian masuk ke Seminarium Pansur Napitu membuka sesuatu kesempatan baru bagi
panggilan martin, Pendeta V. kessel adalah yang memberangkatkan Martin pergi ke
Seminarium tersebut. Dari antara 80 orang peserta ujian, hanya 30 orang,
termasuk martin , yang lulus. Dua orang yang lulus dari Panggaloan yaitu Matin dan Timoteus Hutapea,
seorang anak evangelis Hutapea yang kenamaan itu.
Tanggal 25 Januari 1885 adalah hari
bersejarah untuk Martin dan sahabat – sahabatnya. Keadaan seminarium pada waktu
sangat terbatas perlengkapannya. Tempatnya, alat – alat pendidikan dan
sarananya sangat sederhana sekali. Gedung gereja adalah tempat persekolahan dari hari senin sampai
sabtu, sedang hari minggu sebagai tempat peribadatan. Bangku tempat duduk
digunakan dalam sekolah itu sebagai mejanya, sedang potongan – potongan balok
tiang dibuat sebagai tempat duduk dibawah bangku tersebut. Ruangan untuk belajar
atau menghafal hanya dalam gereja. Yang mencari kayu bakar dan tukang masak
tidak lain adalah semua pelajar, belanja mereka masing – masing dari orang tua
atau keluarganya. Mereka telah mandiri dalam pembiayaan seminarium tersebut.
Martin melakukan semua tugas dengan penuh semangat dan kegembiraan. Ketika
Martin mengikuti sekolah guru, tiba – tiba ibu yang disayangi itu meninggal
dunia, pada waktu melahirkan anak. Hatinya penuh dengan kerisauan, mendung
pemansangannya. Ia mengingat pada waktu itu tanggal 31 Januari 1885. Keinginan
meneruskan sekolah terancam. Namun akhirnya berkat ketabhan bapaknya, untuk
mencari nafkah merekadan membiayai sekolahnya walaupun dengan mengaami
penderitaan pahit, akhirnya Martin pun memahami masalah bapaknya hanya dengan
menerima kenyataan itu sendiri.
Pada akhir tahun 1885, bapaknya menikah dengan Ulina Boru Tompul putrid Rajaihutan Hiskia, dari sigurung – gurung, Pangaloan. Keungan atau perbelanjaan bagi sekolah Martin menjadi terjamin. Tambahan lagi karena kakak Martin juga menikah, sehingga keluarga itu dapat menunjang kemajuan sekolahnya. Guru dari sekolah guru pada waktu itu adalah pendeta P.H. Jo Hansen yang menjabat sebagai guru kepala, pendeta J.H. Meerwald sebagai wakilnya, dan guru lainnya ialah guru manase L. Tobing. Karena kemajuan dan pengembangan anak sekolah makin meningkat, maka sekolah diperbarui. Para pelajar bergotong royong ke hutan, mencari kayu – kayu besar, lalu melicinkannya sehingga menjadi bolak – balik yang lurus, licin dan kuat.
Pada awal tahun 1887 sekolah yang
baru siap untuk dihuni, ruangan untuk menghafal tersendiri, untuk belajar pun
tersendiri. Martin belajar diseminarium selama 3 ¾ tahun. Jangka
waktu yang pendek ini dibuat adalah karena jemaat – jemaat kekurangan guru.
Tanggal 22 Agustus 1888 ujian akhir silakukan sesuai
dengan usul ephorus dan para pendeta. Sebanyak 11 orang lulus. Hasil ujian martin cukup baik. Setelah mereka ditabalkan sebagai guru, martin pun pulang ke
desa. Pendeta ditempat tinggalnya yang akan memberikan tugasnya. Pengganti
pendeta v. kessel ialah pendeta P. Bonn, yang memberi tugas praktek kepada
martin, yaitu menjadi guru di pangaloan, mengganti guru Wilhelm hutagalung yang
pindah ke Lumban Garoga.
Pengalaman
melayani guru
Guru martin banyak dipengaruhi oleh
panutan pendeta Bonn, yang suka mengadakan perkunjungan rumah ke jemaat –
jemaat atau pedesaan. Akibatnya besar, makin banyak yang dating mengunjungi
kebaktian minggu dari penganut agama suku, demikian juga banyak yang mengikuti
pelajaran kateksiasi yang menyatakan dirinya bertobat. Anak – anak sekolah pun
makin bertambah setiap tahun. Namun kegiatan ini, pembaptisan tidak membludak
jumlahnya. Lambat – lambat diizinkan atau diamati oleh pendeta untuk menjadi
penganut kristus itu. Dari kenyataan hidup perubahan seseorang baru merekan
dibaptiskan.
Pendeta
Bonn sangat teliti menyaring keanggotaan dan pemuridan kristus itu. Ia juga
ikut mengajar dan membina mereka, baik di jemaat induk maupun di jemaat
pinggiran. Bagi beberapa orang sampai 3 tahun lamanya mengikuti pengajaran
tersebut baru di baptis.memang banyak manfaatnya untuk pribadi, keluarga dan
jemaat itu sendiri kemudian hari. Guru martin menanam metode bukan dari
kebiasaan menulis alfabeta a, b,c,d, dst, tetapi mengajarkan huruf – huruf
tersebut dari suara yang dibunyikan oleh murid – murid itu sendiri.
Pada tahun 1890, pusat tempat gereja
dipindahkan termasuk sekolah. Perkampungan itu di sebut “pargodungan”, yang
tadinya di Lomban Toruan, di bawah kaki gunung Pangaloan yang curam dipindahkan
ke Tanah Mias, kira – kira di pertengahan pedesaan – pedesaan di daerah dan
pinggir jalan raya. Pendeta kleinstra menggantikan pendeta bonn yang pulang ke
Eropa. Pada anggal 11 Januari 1895 seorang wanita lahir setelah guru martin
menikah dengan louise br. Morangkir dari silangkitang pangaloan pada tahun
1893. Enam tahun lamanya ia menjadi guru di pangaloan, di jemaat induk. Lalu dipindahkan
ke jemaat pinggiran, yaitu pada tanggal 7 Oktober 1895. Sangat sulit pada
mulanya melayani jemaat pinggiran, karena hanya 2 keluarga Kristen saja yang
ditemuk tempat persekolahan yang dilakukan di sopo lumbung padai yang dapat
dimanfaatkan untuk pertemuan – pertemuan. Sopo tersebut milik raja di
simaninggir dolok. Di sekitar 12 anak – anak sekolah meningkat menjadi 30
orang, dan 70 keluarga menjadi anggota jemaat. Dalam menghadapi tantangan
pelayanan yang berat itu guru martin mengalami penderitaan batin karena
kematian putrinya tadi, margareta, yaitu pada tanggal 3 Juni 1897. Dengan
lahirnya putri kedua pada tangal 28 Juli 1897, yang dianamakan apul pintaomas
maka penghiburan dirasakan dengan khusus. Jemaat induk pangaloan makin besar
jumlah anggotanya.
Pendeta kleinstra memindahkan guru
martin ke jemaat induk tersebut, yaitu pada tanggal 11 desember 1899. Guru
kenan sihombing juga dipanggil untuk bertugas di sana. Mereka berdua membantu
perkembangan jemaat induk tersebut. Setelah satu minggu di pangaloan bertugas,
lahir seorang putra bernama sinta polin, yaitu pada tanggal 18 Desember 1899.
Waktu pendeta G.K Simon, yang menggantikan pendeta irle memindahkan guru martin
dari pangaloan ke janji angkola yaitu pada tanggal 3 Januari 1901, keadaan
pelayanan amat berbeda. Pendeta kilian lumbantoruan pada saat itu dipindahkan
dari janji angkola. Untuk melayani jemaat itu tidak cukup seorang guru. Guru
ria simatupang adalah juga ikut melayaninya. Orang – orang di daerah janji
angkola nampaknya keras terhadap kehidupan baru itu. Mereka agak congkak,
karena harta kekayaannya, ternaknya banyak seperti kerbau, lembu, demikian juga
sawahnya menghasilkan banyak padi dan tanam – tanaman lainnya. Tidak seberapa
orang yang mau menerima hidup baru atau pertobatan. Belajar disekolah, pikir
mereka, hanya menghabis – habiskan waktu, tenaga dan pembiayaan.
Sekolah pendeta
Sekolah pendeta
hanya satu tahun melayani jemaat di
janji angkola guru martin dapat kesempatan bersama tuan simon dan timoteus
hutapea meneruskan sekolanya ke sekolah pendeta, yaitu tanggal 3 maret 1902,
mereka semua berjumlah 9 orang. Temannya adalah asser l. tobing, andreas
sitompul, timoteus hutapea, martin siregar, martin suti, jonas siregar,
friderick l, tobing dan Daniel pardede. Semua istri mereka masih tinggal, kira
– kira stengah tahun lagi, di masig – masing desanya, karena asrama di
sipoholon masih belum selesai. Selama 2 tahun mereka dipersiapkan untuk
pelayanan pengembalaan di bawah asuhan pendeta J. Warneck dan pdt. Harder. Jauh
sebelum tamat, yaitu pada akhir tahun 1903 telah dipilih 4 orang untuk
melakukan pengamatan penginjilan ke simalungun, yaitu andrea sitompul, martin
siregar, martin suti dan martin nainggolan.
Tadinya pendeta simon bekerja dan
menggembalai resort pangaloan, dan pada tahun 1903 ia pindah ke daerah
simalungun. Tanggal 28 Desember mereka berempat diberangkatkan ke daerah
simalungun dalam rangka praktikum. Mereka lebih dahulu diutus ke sigumpar untuk
menerima nasehat.dan pendekatan penginjilan dari ompui ephorus nommensen. Lama
menunggu sampan perahu yang tak kunjung
tiba, maka ompul menyuruhnya supaya pergi ke janji matogu, daerah pelayanan
pendeta reitse. Jam 3 pagi mereka pun diberangkatkan pendeta reitse. Lalu
mereka menuju lontung.Disini mereka terkejut melihat sikap orang – orang kaya
yang memberlakukan dengan keras dan penindasan hamba sahaya.“ aduh malangnya
hidup hamba sahaya ini,” pikir mereka. Setelah mengarungi danau yang penuh
ombak itu yang dikenal dengan nama danau toba, maka pada tanggal 1 januari 1904
perahu yang mereka tumpangi itu pun sampai di tiga ras, yaitu tempat pendeta
simon. Setelah dua hari istrirahat dan mengenali daerah simalungun dari pendeta
tersebut, maka mulailah mereka melawat daerah – daerah seperti raya, pane,
pematang siantar, Bandar dan terus ke batubara, tempat pemerintah belanda
mengawasi rakyat di daerah simalungan (kontroleur). Jalan yang mereka tempuh
adalah rumpu – rumput ilalang yang panjang, yang harus disisihkan ke kiri ke
kanan. Kayu – kayu kecil dan besar ditengah – tengah hutan yang lebat itu harus
ditembus. Sawah masih belum ada mereka jumpai, hanya ladang belaka dibeberapa
tempat diantara hutan – hutan besar itu. Demikian juga perkampungan sangat
jarang dijumpai, setidak – tidaknya sepanjang jarak satu jam. Pengalaman mereka
cukup berkesan, bukan saja karena hutan belukar yang mereka lalui, tetapi juga
reaksi atau penolakan akan berita kesukaan. Misalnya raja pane, raja siantar
tidak mau menerima injil.
Lain halnya tuan Bandar yang mau
menerima pekabar injil atau pendeta yang mengijinkannya untuk dapat tinggal di
tengah – tengah mereka. Motifnya kemungkinan adala apabila bersama orang kulit
putih dan pelayan tuhan, dia juga dipandang penuh kemuliaan.
Pemerintah Belanda yang diwakili
oleh Kontroleur cox di batu bara memahami kehadiran pendeta di daerah
simalungan bukan saja sekedar orang pendatang, tetapi sangat dibutuhkan untuk
membangun kehidupan baru di daerah itu. Ia mengirim surat izin kepada raja –
raja di simalungun untuk menerima atau memohon para pendeta dapat diterima di
daerah iini. Lalu mereka pulang kembali dari batu bara, menuju ke raya maligas,
tano jawa melalui P. Siantar, sidamanik tembus ke tiga ras. Cukup luas hutan
lebat yang mereka jalani. Binatang buas, kesunyian di dalam hutan dan alam yang
cukup memberi kesan yang dalam.
Tidak semua tempat perkampungan yang
mau menerima mereka. Perjalanan kedua kalinya dilakukan kembali setelah pendeta
simon bertekad untuk memulai menabur injil di daerah simalungun itu, setelah
seminggu tiba di tiga ras, maka pdt, simon mengutus ke empat calon pendeta,
pekabar injil yang berani itu ke tuan Bandar. Pesan yang mereka sampaikan
termasuk untuk membangun sebuah rumah untuk pendeta. Setelah semua rampung,
maka mereka pun kembali ke tiga ras. Dari sana pulang kembali dengan perahu
baligi, dan sampai ke sipoholon pada tanggal 25 Februari 1904. Setelah
mengikuti ujian akhir pada tanggal 22 maret di sipohon, maka GR. Jonas Siregar
dan GR. Martin Nainggolan dipilih untuk menjadi pendeta atau penginjil di
daerah simalungun.
Penginjilan dan pengembalaan
Tanggal
14 April 1904 Pdt. Martin nainggolan berangkat sendirian ke simalungun, sedang
keluarga, istri dan anak – anaknya yang masih kecil, tinggal di desanya.
Tugasnya ialah sebagai penginjil berkeliling, pindah dari satu tempat ke tempat
lain. Setelah sampai di tiga ras, maka bersama pdt. Simon berangkat ke Bandar
menempati tempat pelayanan baru, karena rumah yang dibangun sudah selasai.
Pdt. Martin dengan penuh iman dan
kepatuhannya kepada juru selamat, memulai pelayanannya. Memberitakan injil
kemenangan ke desa –desa dan keladang – ladang, dimana mereka bekerja dengan
penuh keberanian iman dan hormat, pdt. Nainggolan mendekati raja – raja di
Maranggir, pane , siantar, tano jawa dan lain – lain. Terkadang pendeta nainggolan
bersama pdt. Simon secara sendirian menemui raja dan bercakap – cakap
menyangkut kehidupan baru, pertobatan, pengampuanan dosa atau berita kesukaan
yang telah dilaksanakan oleh juruselamat dunia. Penganut agama suku yang pada
umumnya mereka dekati disamping agama lain. Ada mulanya sangat sulit mencari
pendekatan dan kunci untuk mengetuk hati penduduk yang ada di daerah simalungun
yang tenang. Menolak pun tidak, menerimapun belum pasti. Untuk berbincang –
bincang sebentarpun mereka nampaknya lekas bosan. Banyak dari mereka yang
mengisap candu. Setelah melakukan pekerjaan penginjilan selama 5 bulan di
daerah tersebut, maka pdt. Nainggoalan makin terlatih dan bersemangat. Tantangan
dipandangnya sebagai suatu jembatan kekuatan rohani.
Hutan
raya, rumput lalang yang luas, kayu pohonan yang besar – besar cukup memberi tantangan
bagi pdt. Nainggolan. Orang yang mudah lupa, akan sesat di tengah hutan raya
itu, apabila ia tidak cepat mengingat tanda – tanda alam, simpang – simpang perjalanan
dan kayu – kayu yang bercorak ragam itu. Setelah pulang selama 1 bulan ke
pangaloan melihat keluarga, lalu ia kembali ke daerah simalungan.
Kegembiraan pdt. Nainggolan dalam
keluarga juga bertambah, karena setelah satu minggu tinggal di kampong halamannya
di Pangaloan, lahir seorang putrinya, sampai putrinya itu dibaptiskan ia
tinggal di tengah keluarga besar, membagi pengalaman dari kegembiraannya di kampung
halamannya. Waktu kegembiraan bersama keluargapun berlalu. Seketika tiba di
pematang Bandar, pdt. Simon mengatakan sesuatu pada pdt, nainggolan :” sudah
ada seorang anak raja dahulu yang dari tano jawa, sampai ke dolok panribuan. Permohonannya
itu sepengetahuan kontroleur cok, karena di sana ia mau bersekolah berdasarkan
desakan kontroleur. Kemudian pdt. Nainggolan pergi ke batu bara menjumpai di
sang borain dan kontroleur tersebut. Memang suatu kenyataan ! si sang borain
sangat bergembira terhadapat kedatangan pdt. Nainggolan. Kontroleur tersebut
memberangkatkan sang borain dengan senang hati bersama pdt. Nainggolan ke kampung
halamannya, yaitu hataran jawa di tano jawa, perjalanan kaki sebanyak 3 hari
jarak hataran jawa dari batu baru, dan 2 hari dari hataran jawa ke pematang Bandar.
Siapakah
sang Borain?
Ia
adalah anak raja Tano Jawa yang lampau. Kerajaan orangtuanya pindah kepada
pamannya, adik bapaknya, karena kalah. Setelah raja tersebut meninggal, anaknya
menggantikan kekuasaan raja itu, yaitu bernama jintar dialah yang dipandang
sebagai raja tano jawa. Tetapi di sang Borain masih kanak- kanak, nampaknya
bodoh, namun kedaulatan masih bersinar dari dirinya bagi kebanyakan orang,
karena ia keturunan raja.
Di hataran jawa
Pada bulan januari 1905 Pdt. Nainggolan ditetapkan
oleh Pdt. Simon untuk bertugas di Hataran jawa. Hal ini suatu peristiwa yang
penuh arti. Rumah gubuk – gubuk yang dibangun sang Borain untuk Pdt. Nainggolan
adalah dekat berhadap – hadapan dengan perkampungan yang berpenduduk 25
keluarga. Pada tanggal 23 April keluarga Pdt. Nainggolan tiba di Hataran Jawa
setelah dijemput oleh Pdt. Tersebut. Melihat rumah yang berlantaikan tanah,
atap lalang, dan dinding tepas bamboo di tengah – tengah hutan lebat, istri dan
anak pendeta dapat menyesuaikan diri demi untuk berkembangnya kerajaan allah,
yang hampir dapat disebut pada waktu itu S.K.A. ia sudah mempunyai keluarga pada
saat itu. Untuk menggalakan pemuridan jesus kristus, juru selamat desa
tersebut, ia memanggil anak – anak dari desa itu yang kebetulan ada 10 orang.
Mereka jadi berjumlah 11 orang didik oleh pendeta Nainggolan setiap hari
kecuali hari minggu. Merekalah di kemudian hari yang menjadi orang Kristen
pertama di daerah itu. Kegiatan gelombang berikutnya yang dilakukan Pdt.
Nainggolan bersama sang borain, sama seperti kesetiakawanan dan hubungan bapak
dengan anak dari rasul Paulus dengan timoteus, membawa injil ke desa – desa di
Tanah Jawa, sampai ke Dolok panribuan ke bagian arah selatan. Tanpa kesulitan
komunikasi Pdt. Nainggoalan mengenal raja – raja di seluruh Tano Jawa dan
sekitarnya, karena sang borain adalah anak raja yang masih diakui kedaulatannya
walaupun bukan ia yang menjadi pewaris kerjaan dalam pemerintahan adat. Ia
adalah anak raja, tetapi lebih tinggi dari kedudukan itu ia memilih menjadi
anak Allah dalam kerajaaNya. Allah bekerja memilih hambaNya melalui apa yang
dikatakan oleh Petrus 2,7 : “ Batu yang telah dibuang oleh tukang – tukang
bangunan, telah menjadi batu penjuru, juga telah menjadi batu sentuhan dan
suatu batu sandungan.”Karena melihat isi dan tujuan penginjilan, maka banyak
yang mau menerima guru sekolah untuk desa – desa di daerah simalungun. Raja –
raja tersebut telah mulai melihat dan memahami arti kemajuan dan pengembangan
ilmu bagi kehidupan sehari – hari di desa – desa. Pdt. Simon menyetujui
keinginan raja – raja desa untuk kehadiran
pendidikan dan pembinaan warga masyarakat raja – raja yang berkeinginan
menerima guru – guru misalnya : pematang tanah jawa, sitoma jawa, soria,
hutabayu raja, raya maligas, tomuan dolok, pematang dolok, jorianghataran dan
lain – lain. Tempat – tempat ini berulang kali dikunjungi pendeta nainggolan
untuk membina dan meningkatakan pengetahuan umum dan memperdalam iman para
murid sekolah. Pengawasan dan pengarahan bagi guru – guru sekolah juga memakan
waktu dan perhatian khusus. Kesulitan yang dihadapi Pdt. Nainggolan dan para
guru cukup dalam menyangkut pengajaran firman allah atau pemuridan iman. Sama halnya
seperti menggigit karet atau kulit kering, ditarik ia mengikut, di lepas ia
kembalike asalnya. Begitu letihnya guru – guru tersebut mendidik anak – anak
atau orang dewasa untuk menerima firman allah serta menghayati kasih
keselamatan kristus, tetapi selama 5 tahun pernah tidak seorangpun yang
bersedia dengan sukarela menjadi murid tuhan jesus kristus, khusus di hataran
jawa.
Lain halnya
di dolok panribuan. Di sana sudah ada dari masyarakat yang menjadi pengikut
jesus kristus. Tambahan lagi pendatang – pendatang baru dari daerah toba,
tapanuli utara, ke daerah sekitar tiga dolok dan dolok marlawan.
Sakit Typus
Selama tiga
bulan pendeta nainggolan diserang oleh penyakit typus. Waktu tersebut adalah
sebagai pencobaan yang keras. Pikirannya pada saat itu mendung, tidak menentu
karena panas yang cukup tinggi membuat ia terus – menerus berbicara, tidak
menentu, mulutnya komat – kamit dengan suara penderitaan. Jiwanya penuh
kensunyian, tidak ada orang yang dapat datang meneguhkan jiwanya. Ia
mengharapkan penghiburan dari sahabat atau teman sekerja di samping keluarga.
Tetapi pengharapan itu sia – sia. “ alangkah malangnya saya,” pikir pendeta
nainggolan, tetapi jalan allah untuk hambanya terus berjalan. Tidak dapat
dipahami, bahwa sesewaktu orang – orang simalungun juga datang menghiburnya,
walaupun nasehat – nasehatnya tidak sesuai dengan maksud hati pendeta. Keluarga
dan kenalan pdt. Nainggolan pun ikut bergunul dalam doa supaya ia segera
disembuhkan allah. Setelah pendeta simon di bandar mengetahui hal penyakit pdt.
Nainggolan, maka ia menyuruh orang lain mengirim obat typhus. Ia teguhkan lebih
banyak bukan karena obat yang dikirmkannya saja, tetapi karena isi secarik
surat dari pdt. Simon yang menghibur, meneguhkan jiwa, yang penuh kesunyian.
Hatinya makin gembira. Isi surat itu dirasakannya seprti suara yang datang dari
surga. Sejak itu penyakitnya berangsur – angsur sembuh. Pdt. Ed muller
menggantikan pdt. Simon yang sakit dan berobat ke Eropa, pdt. Muller sempat
tinggal di bandar, lalu pindah ke pematang siantar.
Perpindahan pusat pelayanan kerajaan
allah dari Bandar ke p. siantar sesuai dengan nasehat pdt. Simon. Hal itu
terjadi pada tahun 1907. Pada masa itu perpindahan penduduk dari daerah toba,
tapanuli utara, bergelombang – gelombang, datang membuka persawahan ke arah daerah
p. siantar dan pane, menyusul lagi ke arah dolok marlawan dan balata. Perpindahan
raksasa itu sangat mengagumkan, karena nampaknya seperti perpindahan bangsa –
bansa yang dapat mengubah jalannya sejarah. Hanya perpindahan ke tanah jawa
tidak diizinkan oleh pemerintah, yaitu kontroleur yang lama memerintah dan
mengawasi rakyat di daerah itu. Pada tahun 1907 kedudukan kontroleur sudah
dimulai di tano jawa.
Penginjilan ke dolok panribuan
Perpindahan raksasa ke dolok
panribuan itu mempunyai dampak kepada gereja. Pdt. Muller memindahkan pdt. Nainggolan
dari hataran jawa ke dolok maraja, tiga dolok, yaitu tanggal 25 Februari 1910. Dari
tempat ini pdt. Nainggolan beroperasi dalam pelayanannya ke tano jawa. Jemaat –
jemaat makin bertambah seperti di siatasan – balata, dan manik hataran. Makin membludak
jumlah keanggotaan jemaat karena pendatang – pendatang baru dari tapanuli
utara, yang telah lama menjadi pengikut kristus. Selama tinggal di dolok
maraja, kegembiraanpun mengisi keluarga pdt. Tersebut, karena pada bulan
agustus 1910 lahir putrinya, anak yang keempat.
Pelayanan di pematang siantar
Pada tanggal 23 Oktober 1917 pdt. Nainggolan dipindahkan
oleh pdt. Muller dari dolok maraja ke P. siantar. Hal ini karena dua unsur. Yang
pertama karena banyaknya pendatang baru menerobos masuk ke jantung hati daerah
simalungun baru, yaitu P. siantar. Yang kedua karena pdt. Karl hutabarat teman
sekerja pdt. Muller berhenti dari pekerjaannya, sehingga tidak mungkin hanya
seorang pendeta melayani jemaat di p. siantar. Pelayanan raksasa harus
dilakukan dengan gerak cepat, tepat dan cermat, bukan saja di jantung hati
daerah simalungun, tetapi juga di sekitarnya yaitu sekitar siantar, tano jawa,
dolok pangaribuan dan pane.
Pada tahun 1917 adalah suatu peristiwa besar untuk
daerah Tano jawa. Selama ini pemerintah tidak mengizinkan daerah ini dimasuki
oleh suku – suku bangsa batak yang datang dari Tapanuli utara. Barulah
pada
tahun tersebut diizinkan pendatang – pendatang baru membuka perawahan baru. Sejak
itu suku – suku batak berbondong – bondong datang mencari nafkahnya dari daerah
toba humbang, silindung, dan angkola. Tiada henti – hentinya mereka datang.
Pelayanan di Tano Jawa.
Dengan membludaknya pendatang –
pendatang baru yang membuka sawah – sawah di Tano jawa dan sekitarnya, maka
pendeta muller memindahkan pdt. Nainggolan pada tanggal 29 Desember 1919 ke
Tano jawa. Pelayanan di daerah ini agak semrawut. Penginjilan awal bagi
penduduk semula terus dilakukan, sedang tindak lanjut penginjilan bagi pendatang baru harus ditingkatkan. Kekristenan yang dihayati penduduk di tapanuli masih baru. Kehidupan pemuridan jesus kristus masih menuntut perilaku
dan cara baru. Hidup dalam injil harus berlaku bagi manusia seutuhnya. Ia harus
memcakup kehidupan sehari – hari. Ia harus menggarami kehidupan bangsa allah di
tanah perantauan, menjadi teladan seperti Abraham dan keluarganya di sepanjang
pertemuannya dengan suku bangsa lain.
Ketekunan iman kepada tuhan dari
bangsa – bangsa atau suku bangsa – bangsa harus dicerminkan bukan saja dari
percakapan – percakapan tetapi juga dari perbuatan – perbuatan yang nyata, yang
berguna untuk keluarga dan masyarakat sekelilingnya. Untuk menyatukan pendapat,
mengarahkan pandangan dan menggalang kekuatan baru dari pendatang – pendatang dengan
penghuni sejati tidak mudah. Pemikiran dan tindakan masih berkotak – kotak sesuci dengan perbedaan suku – sukunya di
Tapanuli. Kesempatan membuka sawah yang dilakukan pemerintah bukan saja sebagai
anugerah bagi musafir baru, tetapi juga menjadi tantangan berat. Tidak mungkin
dilaksanakan pengembalaan hanya oleh seorang pendeta. Pada tahun 1923 pdt. R. Schneider
ditempatkan bersama – sama pdt. Nainggolan di tano jawa.
Kedatangan pendeta baru itu bukan
saja mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan penginjilan dan pengembalaan di
tano jawa, tetapi berguna juga untuk pendeta nainggolan, karena kekuatannya
makin lama makin berkurang karena dimakan usia dan tugas – tugas raksasa di
daerah simalungun berpuluh tahun. Pindah ke sini dan kesana, laksana Abraham yang
tekun imannya dan patuh melakukan tugasnya tanda kesetiaannya untuk kemuliaan
Raja Gereja di sepanjang kehidupan. Pada tahun 1925 sekolah pendeta sipoholon
menamatkan 10 orang yang menjadi perintis – perintis baru. Ompu I Ephorus J.
Warneck memahami perkembangan baru di daerah simalungun selagi kejadian baru. Tenaga
pendeta muda harus segera menggantikan pelayanan – pelayanan di daerah
pekaburan injil yang baru.
Pdt. Nainggolan yang berusia 57
tahun, yang telah melayani kerajaan Allah selama 37 tahun menerima kehormatan
untuk pension. Pada tanggal 31 Maret 1925 adalah hari terakhir dari
pelayanannyasejak dipanggil tuhan 1 oktober 1888 sampai dengan tanggal 1 April
1925. Maka sejak tanggal tersebut ia resmi pensiun dari segala tugasnya.
op.L br simorangkir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar